SEKILAS
TENTANG THARIQAH ‘ALAWIYAH
Dalam
kitab Al-Maslakul-Qorib Likuli Salik Munib, karya Al Habib Thohir bin Husein
bin Thohir ada keterangan sebagai berikut :
“Thariqah
‘Alawiyah adalah meneguhkan ‘aqidah Ahlus Sunnah yaitu para Jama’ah yakni
‘aqidah para Salaful Ummah Ash-Shalihun yaitu para shahabat, tabi’in,
tabi’it-tabi’in dan para pengikut mereka seterusnya dalam kebaikan, mengetahui
hokum-hukum ‘ainiyah artiya kewajiban-kewajiban yang bersifat perorangan,
mengikuti atsar-atsar nabawiyah yang memberitakan tentang perilaku-perilaku
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berpegang serta menjalani adab-adab
syar’iyah. Thariqah ini menerapkan apa-apa yang terpuji dalam ucapan dan
perbuatan, karena menghindari hal-hal yang hanya bersifat rasional dan
kebiasaan. Oleh karenanya bagi para penempuh thariqah ini, seyogyanya mengambil
ilmu terlebih dahulu yang disertai dengan ketaqwaan, menjauhi hawa nafsu,
shihatul-iqtida’ (benar-benar dalam mengikuti), teliti mengikuti ijma’ dan
berhati-hati dalam hal-hal yang diperselisihkan degan yang mengambil yang
terbaik. Dia adalah thariqah utama dan metodeyang telah ditempuh oleh para
sayyid dari keluarga dan keturunan Ba-‘Alawy, dari generasi ke generasi sampai
kepada moyang mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Maslakul
Qorib. Hal.124)
Mu’assis
atau orang dianggap sebagai perintis Thariqah ‘alawiyah ini adalah Al-Imanul-
A’dhom Al-Faqihul –Muqodam Muhammad bin Ali Ba’alawy, yang lahir di kota Tarim,
Yaman selatan pada tahun 574 H, dan wafat pada tahun 653 H.
Dalam
usia relative muda, beliau telah hafal Al-Qur’an. Predikat yang disandangkan
kepada beliau yakni “Al-Imanmul-A’dhom” dan “Al-Faqihul Muqoddam”,
adalah suatu bentuk pengakuan dari masyarakat banyak terhadap kebesaran
pribadinya, keteladanan perilakuny serta kedalaman ilmu agamanya.
Penulis
kitab Al-Masyra’ur-Rawy, al-Alamah Al-Habib Muhammad bin Abi Bakr Asy-Syali
Ba-‘Alawy, menjelaskan bahwa Al-Faqihul –Muqodam Muhammad bin Ali Ba’alawy
adalah maha guru dalam bidang syari’ah secara mutlak dan imamnya para ahli
hakekat secara ittifaq (kesepakatan pengakuan banyak ulama).
Dibagian
lain kitab tersebut juga disebutkan bahwa beliau secara ijma’ diakui guru ahli
syarri’ah dan thariqah serta pembawa panji rombongan ahli hakikat. Seorang
ulama besar, Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri menyatakan: ”Barang siapa berkumpul pada
dirinya dua sifat dari sifat-sifat berikut ini, maka tidaklah seorangpun pada
zamannya yang dapat mengunggulinya, yaitu Asy-Syarif As-Sunny (seorang
keturunan Nabi yang Ahli Sunnah), Al-Faqih Ash-Shufy ( seorang ahli fiqh lagi
ahli tashawwuf), Al-‘Alim Az-Zahid (seorang yang berilmu lagi ahli zuhud),
Al-Ghony Al-Mutaqadli’ (seorang kaya lagi rendah hati) dan Al Faqir Asy Syakir
(seorang fakir yang bias bersyukur)”. Dan pada diri Al-Faqihul-Muqoddam
Muhammad bin Ali Ba-‘Alawy terkumpul sifat-sifat tersebut. Sedang nama
“Alawiyah” untuk thariqah ini, ada perbedaan pendapat tentang nisbat alawiyah
itu kepada siapa. Dalam kitab Tarikhat-Thuruq ash- Shufiyah dijelaskan bahwa
nisbat alawiyah ini kepada Sayyidina Ali bin Abi Tholib, dan di bagian lain
dari kitab tersebut juga dijelaskan bahwa nisbat itu kepada Al-Imam Al-Kabir
Muhammad bin Ali yang terkenal dengan Ba- ‘alawy Al-Ja’fary. Sementara di
kalangan para haba-ib dzurriyatur-Rasul (Keturunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam), yang merupakan pembawa panji-panji penerus thatiqah ini,
dinyatakan bahwa nisbat alawiyah adalah kepada ‘Alawy bin Ubaidillah bin Ahmad
bin ‘Isa Al-Muhajir. Dan pendapat terakhir inilah yang paling bisa dipegangi,
karena sumber informasinya adalah orang-orang yang bisa dipertanggungjawabkan
keterangannya berkaitan dengan Thariqah ‘Alawiyah ini.
A.
Sanad
Thariqah ‘Alawiyah
Thariqah
‘Alawiyah yang lazim dikenal sebagai thariqahnya Ahli Baitin-Nabi ini, tentu
sanadnya dapat dipegangi kemuttashilannya sampai kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan sebagai thariqah yang sering dikatakan “induk” dari
thariqah-thariqah lainnya, maka kemu’tabarahannya tidak perlu diragukan lagi.
Thariqah
yang dirintis oleh Sayyidina Al-Faqihul-Muqoddam Muhammad bin Ali Baa-‘Alawy
ini mempunyai dua) jalur sanad;
1.
Jalur A-ba’wal Judud
(ayah dan kakek keatas), dan
2.
Jalur Syuyukh (para
guru).
Adapun
dari jalur Aba’ wal judud, Al-Faqihul-Muqoddam menerima dari ayahandanya,
Sayyid Ali, yang menerima dari ayahandanya Sayyid Muhammad Shahibir-Ribath dan
seterusnya sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Sedang
dari jalur Syuyukh, Al-Faqihul Muqoddam mengambil dari 2(dua) orang gurunya,
yakni Sayyid Abdullah Sholeh bin Ali Al-Maghrabi dan Sayyid Abdurrahman
Al-Miqdad bin Muhammad Al-Hadlrami, yang keduanya mengambil dari Al-Imam
Syaikhul-Islam Syu’aib bin Al-Husein yang lebih dikenal dengan “Abu Madyan
Al-Maghrabi” dan seterusnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, dari Jibril ‘alaihissalam dan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Barang
siapa yang ingin lebih lanjut menela’ah pada Rijal Silsilah adz- Dzahab
thariqah ini, silahkan membaca khotimah kitab Asasul Islam. Dan Barang sapa
ingin mengetahui manaqib mereka, silahkan membaca kitab Kanzul-Barahin dan
kitab Al-Masyra’ur-Rawy.
B.
Talqin
Dzikir dan Aurad Thariqah ‘Alawiyah
Sebagaimana
dalam thariqah-thariqah yang lainnya, dalam pengambilan dzikir Thariqah
‘Alawiyah juga menerapkan talqin dzikir, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh
Habib Thihir bin Husein bin Thohir dalam kitabnya Al- Maslakul-Qorib likulli
Salik Munib: “Mereka (para Sa-dah ‘Alawiyah) memohon dengan sungguh-sungguh
kepada Allah denagn segala bentuk qurbah (pendekatan), dan mereka berucap
(berdzikir) dengan melalui akhdzul-‘ahd wat-talqin (pengambilan perjanjian dan
pendiktean), berpakaian khirqoh, memasuki khalwat, riyadlah, mujahadah dan
mengikat persahabatan”.
(Keterangan:
Rangkaian kegiatan ini untuk seseorang yang diangkat sebagai Imam atau mursyid
dalam thariqah ‘alawiyah. Berpakaian khirqoh disini maksudnya adalah pemberian
pakaian khusus sebagai suatu bentuk penobatan orang tersebut sebagai Imam).
Adapun
bentuk talqin dzikir untuk orang-orang awam) yang akan memasuki thariqah
‘Alawiyah, adalah seperti digambarkan sekilas dalam kitab Al-Masyra’ur-Rawy
sebagai berikut;
“Adalah
Syams Asy-Syumusi Syaikh Abdullah Al-‘Aidrusi apabila mengajarkan thariqahnya,
maka beliau perintahkan kepada muridnya agar bertaubat dan beristighfar
kemudian diberi talqin dzikir, setelah itu dia diminta menyatakan berikut ini;
اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمد ا
عبده ورسوله امنت با الله وملئكاته وكتبه ورسله واليوم الاخر والقدر خير
وشره من الله وعذب القبر ونعيمهو سؤال المكين والبعث والمزان والصراط
والحساب والجنة والنار. رضيت با الله ربا وبالاسلام دينا و بمحمد صلى الله وسلم
نبيا ورسولا ورضيت بك شيخا وواسطة الى الله.
Itulah
contoh talqin dzikir dalam thariqah ‘Alawiyah, yang kemungkinan antara satu
imam dengan imam lainnya menerapkan cara yang berbeda, namun pada hal-hal yang
prinsip tentu tidak ada perbedaan di antara mereka. Sedangka mengenai aurad
(wirid-wirid) dalam Thariqah ‘Alawiyah, ada perbedaan dengan thariqah-thariqah
lainnya, yakni kalau dala thariqah lainnya ada ketentuan jumlah dan waktu
pelaksanaannya, sedangkan dalam thariqah ‘Alawiyah hal tersebut tidak ada.
Namun bukan berari bahwa dalam thariqah ‘Alawiyah tidak ada bacaan yang
dilakukan secara istiqomah, hanya saja ketentuan jumlah aurad dan waktu
pelaksanaannya sepenuhnya tergantung kepada petunjuk dan arahan dari Syaikhnya.
Karena dialah yang lebih tahu batas kemampuan para murid asuhannya, dimana antara
murid yang satu tentu mempunyai batas kemampuan yang berbeda dengan murid yang
lainnya.
Namun
demikian secar garis besar, dalam kitab Al-Maslakul-Qorib disebutkan bentuk
ijazah yang diberikan kepaa para murid thariqah ‘Alawiyah, yaitu sebagai
berikut :
“Dan
inilah bentuk ijazah, hendakya engkau membaca setiap setelah shalat (maktubah):
لا اله الا الله الملك الحق المبين محمد رسول
الله الصادق وعد الامين.
استغفرالله من قولى وفعلى و يا حق انصرنى على
الحق
Demikian
juga bacalah Al-Wird Al-Latif-nya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad di pagi dan
sore hari, Ratib Al-Haddad setiap malam atau malam jum’at dan Senin, Al-Qur’an
walau satu maqra’ setiap hari. Hadiri shalat Jum’at dan Shalat Jama’ah dan
perhatikan keduanya. Demikian juga hidupkan waktu antara Maghrib dan Isya’
dengan Shalat Awwabin dan lainnya. Demikian juga Tahajjud dan Witir serta
mengisi waktu antara Shalat Shubuh sampai terbitnya matahari dengan dzikir,
fikir dan shalat Isyraq. Demikian juga Shalat Dluha. Hendaknya mereka (para
murid ‘Alawiyah) satu hati dalam amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan
kemampuan. Ingatlah kewaspadaan Allah dalam segala perbuatanmu, khususnya
saat-saat berdzikir. Perbanyaklah dzikir kepada Allah dengan lafadzh “Allah”
atau “La ilaaha illallah” dengan tanpa hitungan. Perhatikanlah ta’lim atau
mempelajari apa-apa yang diwajibkan Allah kepadamu dengan bertanya dan bergaul
dengan para ulama ‘amilin. Hormatilah orang-orang mulia dan para ulama,
terlebih berdarah keturunan kenabian yang merupakan sesuatu yang tidak ada imbangannya
dengan kata-kata dan perbuatan. Dengan kata-kata yaitu hendaknya ketika kamu
berbicara kepada mereka dengan kata-kata penghormatan, dan dengan perbuatan
yaitu berdiri untuk mereka ketika mereka datang maupun ketika mereka pergi”.
(Al- Maslakul-Qorib, Hal.128-129)
C.
Akhirul
Kalam
As-Sayyid
Anis bin ‘Alwy bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Solo; Jawa Tengah), ketika
dimintai pendapatnya mengenai Thariqah ‘Alawiyah ini menjelaskan bahwa Thariqah
‘Alawiyah adalah Thoriqotul Qur’an Was-Sunnah wa Ijma’il- Ulama. Dan dalam
thariqah ini ada 4 (empat) hal yang ditekankan, yaitu;
1.
‘Amalun kholashun
‘anisy-syawa-ib (perbuatan yang bersih dari hal-hal yang tercela),
2.
‘Ilmun (pentingnya
mencari dan beramal dengan ilmu),
3.
Akhlaqun (prilaku
sehari-hari yang terpuji), dan
4.
Katsrotul-aurad (banyak
melakukan dzikir untuk taqorrub kepada Allah).
Beliau
juga menegaskan bahwa Thariqah ‘Alawiyah adalah “Dhohiruha Ghazaliyah wa
Bathinuha Syadzaliyah”. Artinya, secara lahiriyah adalah menerapkan
ajaran-ajaran Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali, yang begitu berat di
dalam masalah-masalah syari’at, dan secara batiniyahnya menerapkan
ajaran-ajaran Al-Imam Abul Hasan Asy-Syadzali, seperti Syiddatul-Iftiqor (hati
senantiasa merasa sangat butuh kepada Allah), Syuhudul-Minnah (hati senantiasa
menyaksikan datangnya anugrah Allah setiap saat), Ru’yatut-Taqshir
ma’at-Tasymir (hati senantiasa tidak mampu melaksanakan kewajiban dari Allah
denagn baik dan berusaha sungguhsungguh untuk meningkatkannya), Al-Inkisar
(hati senantiasa meratapi perbuatan-perbuatan dosa yang dilakukannya sambil
senantiasa mengharap rahmat Allah SWT semata) dan sebagainya.
Itulah
sekilas tentang Thariqah ‘Alawiyah, namun ada Informasi yang perlu disampaikan
disini juga bahwa pada harikamis, 16 Ramadhan 1423 H / 21 november 2002, telah
dinobatkan oleh Rais ‘Am Jam’iyah Ahli Al Thariqah Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah,
seorang imam / Mursyid Thariqah ‘Alawiyah ini, yaitu Habib Muhamad Effendi bin
Hasan Badri bin Hasyim bin Mustofa bin Sultan Syarif Ali Al-Eydrus yang berdomisili
di daerah Karangsari Gedong Kuning Yogyakarta. Akan tetapi, sampai saat ini
Team Penulis belum bisa mendapatkan informasi secara lengkap mengenai kaifiah
atau tata cara pengamalan Thariqah ‘Alawiyah maupun sanad keimanan /
kemursyidan dari yang bersangkutan. Insya Allah dan mudah-mudahan pada
penerbitan berikutnya, Informasi mengenai hal tersebut dapat disampaikan
secaralebih lengkap dan lebih sempurna.
(Sumber:
http://ajenganbaros.blogspot.com/2012/01/sekilas-tentang-thariqah-alawiyah.html)
Komentar